Swift

DAMPAK ERUPSI GUNUNG MERAPI

 BANJIR LAHAR DINGIN GUNUNG MERAPI
Lahar dingin disebut juga lahar hujan, yaitu material vulkanis yang telah terguyur air hujan, baik bersuhu tinggi maupun bersuhu normal. (Sarwidi, 2011).
Ketika terjadi erupsi, banyak material vulkanis yang tidak ikut tergelincir dan turun ke bawah, tetapi menumpuk di daerah dekat puncak gunung Merapi. Apabila terjadi hujan lebat di daerah puncak, maka bisa menimbulkan ancaman sekunder bagi daerah di sekitar lereng gunung merapi terutama daerah bantaran sungai, yaitu ancaman banjir lahar dingin.

Diperkirakan saat ini di puncak Merapi masih terdapat tumpukan material sekitar  150 juta meter kubik, yang merupakan hasil dari erupsi th 2010. Pusat Vulkanologi Badan Meteorologi dan Geofisika (PVBMG) memperkirakan, material sebanyak itu tak akan habis terbawa arus dalam 3-4 kali musim hujan.
Ketika meluncur dari puncak Merapi, material ini berupa material piroklastik yang menyebabkan terbentuknya awanpanas. Isinya terdiri atas batuan berukuran bongkah, kerakal, kerikil, pasir hingga debu panas. Setelah di daerah produksi ini terkena hujan maka di daerah transportasi di lerengnya akan memiliki energi sangat tinggi yang mampu merusak apa saja yang dilewatinya. Seterusnya ketika sampai dibawah maka akan terjadi proses sedimentasi dari pasir-pasir ini sebagai endapan material vulkanik yang sering kita lihat di tebing-tebing sungai ditengah  perkotaan Jogja.

Ada 12 sungai yang berhulu di Gunung Merapi, yaitu Kali Opak, Kali Kuning, Kali Gendol, Kali Code, Kali Putih, Sungai Batang, Sungai Senowo, Sungai Lamat, Kali Woro, Kali Boyong, Kali Bedog, Kali Bebeng.
Usaha untuk mengantisipasi banjir lahar dingin Merapi:
  1. Pemasangan kamera pemantau banjir lahar dingin pada aliran sungai yang berhulu di merapi. Yang sudah dilakukan pada sungai Putih, Batang, Senowo, dan Lamat. Pemasangan dilakukan oleh Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta. Keempat kamera tersebut dapat diamati dari Pos Pengamatan Gunung Merapi Ngepos, Kecamatan Srumbung Ngetijono Magelang, dan dari BPPTK Yogya.
  2. BNPB sudah memastikan pemasangan alat sistem peringatan dini (early warning system) di seluruh sungai yang berhulu di Gunung Merapi. Pemasangannya dilakukan atas kerja sama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dengan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 
  3. Pengerukan untuk meminimalisir kerusakan jembatan akibat terjangan banjir lahar dingin.
  4. Menurut Jazaul Ikhsan UMY, ada dua hal yang dapat dilakukan pemerintah, baik secara struktur maupun nonstruktur untuk meminimalkan dampak yang diakibatkan oleh banjir lahar dingin. Secara struktur, pemerintah dapat meningkatkan kembali fungsi sabodam yang berperan dalam menahan sedimentasi agar tidak membanjiri daerah aliran sungai yang berhulu di Merapi. Selain itu, juga dapat dilakukan melalui pengosongan sabodam dengan mengeruk sedimentasi yang berupa material hasil endapan erupsi seperti pasir dan batu.
  5. Secara nonstruktur bisa dilakukan dengan memberikan “early warning detector” (detektor peringatan dini) untuk merekam intensitas curah hujan dan mengukur ketinggian muka air di sungai berhulu di Merapi.
  6. Untuk mengantisipasi apabila nanti jalan Yogyakarta-Klaten tertutup, maka saat ini Dinas Perhubungan DIY dan Kabupaten Klaten (Jateng) sedang mencari skenario jalan alternatif. (Contoh: Kalau Prambanan ditutup, nanti dari Solo akan dibelokkan ke Piyungan). Dalam waktu dekat Dinas Perhubungan DIY, Magelang, Purworejo dan Klaten akan membuat peta bersama untuk jalur-jalur alternatif tersebut.
Kerugian yang ditimbulkan dari banjir lahar dingin Merapi:
  1. Kerugian akibat beberapa kali banjir lahar dingin Merapi yang menerjang kawasan Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mencapai sekitar Rp2 miliar.
  2. Kerugian yang ditimbulkan akibat banjir lahar dingin baik yang melalui Sungai Gendol maupun Sungai Opak mencapai sekitar Rp 2 miliar yang meliputi kerusakan infrastruktur serta sektor pertanian dan perikanan. Hasil pendataan sementara ini kerugian infrastruktur mencapai Rp 1,9 miliar, sedangkan kerugian untuk sektor pertanian dan perikanan berkisar Rp 100 juta. Namun jumlah tersebut masih fluktuatif karena masih terus dilakukan pendataan. Terkait dengan kerusakan infrastruktur seperti ambrolnya tujuh jembatan dan satu jembatan perlintasan penduduk, sampai saat ini belum akan dibangun jembatan darurat meskipun saat ini wilayah Cangkringan terbelah menjadi dua, di sisi kiri dan kanan Sungai Opak. (Samsul Bakrie, 2011).

Banjir Lahar Dingin Merapi Menerjang, 117 Warga Mengungsi Parwito 

Magelang – Akibat guyuran hujan di puncak Gunung Merapi, banjir lahar dingin kembali menerjang daerah di sekitar Kali Putih, Magelang. Sebanyak 117 Warga harus mengungsi dari rumahnya. Mereka menambah daftar ratusan orang yang telah mengungsi sebelumnya. 117 warga tersebut berasal dari dusun Krapyak, Desa Sirahan, Kecamatan Sirahan. Mereka diungsikan ke Dusun Gajahan, Desa Gulon, Kecamatan Salam yang relatif lebih aman. “Kami khawatir kalau-kalau banjir lahar dingin yang menerjang menjadi besar dan bernasib sama seperti di Sirahan yang rumahnya rata-rata tenggelam,” ujar salah seorang pengungsi dari Dusun Krapyak, Suryati, kepada detikcom, Selasa (22/3/2011). Pantauan detikcom, dari Pos Pengamatan Merapi di Ngepos, Srumbung, banjir lahar dingin terjadi sekitar pukul 14.00 WIB. Petugas kemudian menyampaikan laporan kepada Tim SAR untuk menutup jalan Magelang-Yogyakarta. “Penutupan hanya selama 30 menit karena banjir relatif kecil. Setelah dibuka rekan-rekan tim SAR langsung melakukan proses pertolongan kepada warga,” kata salah seorang relawan tim SAR Kabupaten Magelang, Achadi (43). Selain 117 pengungsi ini, terdapat juga ratusan pengungsi lain di lokasi pengungsian Desa Tanjung Kecamatan Muntilan. Mereka telah mengungsi selama tiga bulan. “Kami tidak berharap apa-apa kepada pemerintah. Yang pasti kami sangat khawatir dengan keamanan kampung kami, sebab tidak ada patroli polisi. Relawan pun sudah menarik diri dari desa kami sehingga sangat riskan dan rawan aksi pencurian,” keluh seorang pengungsi dari Dusun Salakan, Desa Sirahan, Kristianto (30). Banjir lahar dingin tidak hanya menenggelamkan rumah tetapi juga sawah sekitar 25 hektar beserta tanamannya. Tanaman tersebut berupa jagung, cabe dan padi yang sebenarnya seminggu lagi sudah siap untuk dipanen. (adi/rdf) Selasa, 22/03/2011 15:17 WIB Banjir Lahar Dingin Malah Jadi Daya Tarik Turis Asing

Magelang – Usai banjir lahar dingin melanda Desa Jumoyo, Magelang, Senin kemarin, jalan Magelang-Yogya di Km 13 penuh debu. Namun justru lahar dingin itu menjadi daya tarik sebagian turis asing yang sedang berlibur di Yogyakarta. Pantauan detikcom, Selasa (22/3/2011) di Jembatan Kali Putih, Magelang, arus lalu lintas padat merayap. Kondisi jalan yang penuh dengan debu beterbangan mengakibatkan beberapa pengendara melambatkan kendaraanya. “Banyak debu. Jarak pandang hanya tujuh meter. Takut kalau terjadi kecelakaan karena tidak dapat melihat dengan jarak pandang yang begitu pendek,” ucap Sudibyo (55) warga Gunung Kidul, Yogyakarta, yang mengendarai mobil Xenia. Meski demikian, kondisi ini justru menjadi daya tarik orang dari luar Magelang. Bahkan, turis-turis asing pun datang untuk melihat langsung dahsyatnya dampak isi perut Gunung Merapi. Febyola (34) seorang pemandu wisata dari salah satu biro perjalanan wisata, saat ditemui detikcom di Jembatan Kali Putih, tampak sedang mengantar 7 wisatawan dari beberapa negara. Mereka penasaran dengan lahar dingin. “Mereka dari Amerika, Belanda dan Inggris. Sengaja meminta agen perjalanan kami untuk mengantar mereka ke Borobudur dan menyempatkan mampir sebentar di Kali Putih ini,” kata Febyola. Para turis asing ini penasaran. Mereka selama ini sudah mengetahui soal erupsi Merapi dan dampaknya dari pemberitaan media internasional. Nah, sekarang mereka ingin melihat langsung dampak lahar dingin. “Menurut mereka dahsyatnya banjir lahar dingin material erupsi Merapi menjadi daya tarik. Ini mereka minta setelah melihat pemberitaan di beberapa media,” ungkap Febyola. 

Jembatan Putus, Ratusan Warga Lereng Merapi di Boyolali Terisolir Muchus Budi R. – detikNews
Boyolali – Sebuah jembatan penghubung antar desa di lereng Merapi, putus akibat diterjang hujan deras. Akibatnya, ratusan warga di dua dukuh yang terletak di kawasan pemukiman tertinggi lereng Merapi di daerah Boyolali, terisolir total. Hujan deras yang mengguyur wilayah lereng gunung Merapi, Selasa (22/3/2011) siang hingga sore mengakibatkan jembatan di Dukuh Takeran, Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jateng, putus total. Jembatan tersebut menghubungkan Dukuh Belang dengan Dukuh Takeran. Akibatnya, ratusan jiwa warga di Dukuh Takeran dan Dukuh Stabelan yang hanya berjarak sekitar 3,5 km dari puncak Merapi saat ini dalam kondisi terisolir. “Jembatan yang putus adalah satu-satunya akses warga Takeran dan Stabelan keluar dari dukuhnya. Jembatan itu juga merupakan jalur ekonomi dan sekaligus jalur evakuasi bagi warga jika terjadi bencana. Saat ini dua dukuh itu benar-benar terisolir,” ujar Kepala Desa Tlogolele, Budi Harsono. Dukuh Takeran dihuni 125 Kepala Keluarga (KK) dengan jumlah jiwa sekitar 400 orang. Sedangkan Dukuh Stabelan yang berada paling dekat dengan puncak Merapi dihuni 112 KK dengan jumlah jiwa sekitar 350 orang. Kendaraan milik warga yang berada di kedua dukuh itu pun tidak bisa keluar. Demikian pula kendaraan warga yang saat kejadian berada di luar dukuh, saat ini tidak bisa kembali ke rumah. “Sangat mendesak dibuatkan jembatan darurat, karena ini akses jalan satu-satunya bagi warga,” lanjut Budi. Selain jembatan putus, aliran listrik di sejumlah dukuh di Desa Tlogolele saat ini juga padam. Hal ini dikarenakan adanya tiang listrik yang roboh akibat tanahnya tergerus erosi, yaitu tiang listrik di Dukuh Tlogomulyo. Akibatnya aliran listrik mulai dukuh Tlogomulyo hingga Stabelan, padam.


WASPADA ANCAMAN BANJIR LAHAR MERAPI DI PUNCAK MUSIM HUJAN
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG).
BANJIR lahar yang terjadi di sejumlah sungai yang berhulu di puncak Merapi pada hari Senin (3/1) merupakan yang terbesar pascaerupsi Merapi 2010. Namun demikian, menurut laporan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta, hingga saat ini diperkirakan baru 10 persen dari sekitar 130 juta meter kubik material vulkanik Merapi yang terangkut oleh banjir lahar. Untuk itu, kepada seluruh warga yang bermukim di sepanjang daerah aliran sungai yang berhulu di Merapi dihimbau untuk selalu waspada, karena peluang terjadinya banjir lahar yang lebih besar dapat terjadi mengingat tingginya intensitas curah hujan selama puncak musim hujan pada bulan Januari-Pebruari 2011.
 Puncak Musim Hujan
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tingginya intensitas curah hujan selama puncak musim hujan pada bulan Januari dan Pebruari 2011. Secara global, prediksi anomali suhu muka laut di Pasifik tengah bulan Januari 2011 menunjukkan kondisi cukup dingin. Sementara, anomali suhu muka laut di sekitar Indonesia diprediksi cukup hangat hingga Pebruari 2011 dan mulai mendingin pada Maret 2011. Kondisi ini memberi indikasi bahwa sebagian besar wilayah Indonesia akan lebih banyak turun hujan pada puncak musim hujan saat ini, karena adanya dorongan massa uap air dari Samudera Pasifik menuju Indonesia hingga menyebabkan penambahan curah hujan di wilayah Indonesia.
 
Secara regional saat ini di Pulau Jawa sedang berlangsung monsun baratan sehingga cukup besar peluang terbentuknya daerah konvergensi berupa sabuk awan hujan. Data citra satelit cuaca menunjukkan bahwa pada saat ini wilayah Indonesia di selatan khatulistiwa sedang berlangsung pembentukan zona konvergensi berupa penumpukan awan hujan. Liputan awan superklaster ini memanjang dari Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali dan Nusatenggara, kondisi ini akan memicu terjadinya hujan deras dalam wilayah yang luas.
 Bersamaan dengan terbentuknya daerah konvergensi, gangguan tropis juga muncul berupa pola-pola tekanan rendah di sebelah barat Australia dan di Samudra Hindia sebelah selatan Jawa. Kondisi cuaca ini sudah cukup mempengaruhi wilayah Indonesia dengan timbulnya angin kencang disertai hujan yang lebih lebat diiringi petir serta gelombang laut yang tinggi. Memperhatikan dinamika atmosfir dan suhu muka laut di atas, tampak ada kecenderungan akan terjadi peningkatan intensitas curah hujan pada periode puncak musim hujan saat ini.
 Berdasarkan data curah hujan selama lebih satu dekade terakhir diketahui kawasan Kaliurang terjadi rata-rata curah hujan bulanan mencapai 508 milimeter pada bulan Januari dan 514 milimeter pada bulan Pebruari. Tingginya curah hujan pada bulan-bulan tersebut menunjukkan bahwa puncak musim hujan di puncak Merapi terjadi bulan Januari dan Pebruari pada setiap tahunnya.
 Sebagai antisipasi meningkatnya intensitas curah hujan di puncak musim hujan, dihimbai kepada seluruh warga yang bermukim di sepanjang daerah aliran sungai yang berhulu di puncak Merapi perlu lebih waspada terhadap banjir lahar yang dipicu oleh tingginya intensitas curah hujan di puncak Merapi. Ancaman banjir lahar hendaknya tidak dianggap remeh, mengingat material vulkanik selama erupsi saat ini telah memenuhi alur sungai yang berhulu di Merapi.
 Banjir Lahar
Erupsi gunungapi selalu menghasilkan deposisi material vulkanik berupa abu dan debris gunungapi yang menimbun di lereng badan gunung. Selanjutnya lahar terbentuk jika turun curah hujan dengan intensitas tinggi bercampur dengan material lepas gunungapi hingga membentuk aliran. Meskipun material lahar tersusun atas abu gunungapi dan fragmen batuan, tetapi banjir lahar mampu mengalir lebih deras dan lebih cepat jika dibandingkan dengan aliran air biasa.
 Material lumpur dan pasir dengan cepat mengalir menuruni lereng-lereng gunung dengan kecepatan mencapai 65 kilometer per jam dan dapat mengalir deras hingga jarak lebih dari 80 kilometer. Aliran debris dengan masajenis besar ini meluncur dengan percepatan makin besar, karena laju alirannya ditopang gaya gravitasi. Semakin cepat laju banjir lahar maka semakin besar potensi kerusakan yang ditimbulkan. Ancaman  bahaya banjir lahar tidak saja di sepanjang jalur sungai di lereng gunung, tetapi di kawasan dataran kaki justru lebih berbahaya karena menjadi zona luncur bebas seperti halnya luapan Kali Putih yang memutuskan jalur transportasi Magelang-Yogyakarta.
 Salah satu contoh bencana banjir lahar paling merusak di dunia adalah banjir lahar pasca erupsi Gunungapi Nevado del Ruiz di Columbia tahun 1985. Dalam waktu empat jam setelah letusan yang disusul hujan deras, lahar meluncur deras sejauh 100 km hingga hanya menyisakan kehancuran kota: lebih dari 23.000 orang tewas, sekitar 5.000 orang terluka, dan lebih dari 5.000 rumah hancur di sepanjang Chinchiná, Gualí, dan sungai Lagunillas. Kerusakan paling parah menimpa kota Armero yang berlokasi di mulut ngarai Lagunillas Río, terletaknya di tengah foto. Tiga perempat dari 28.700 penduduk kota tewas dengan tragis akibat banjir lahar pada 13 November 1985.



Peristiwa mengerikan ini selanjutnya dikenang sebagai tregedi Armero-Chinchina, sebagai satu-satunya bencana banjir lahar paling mematikan yang tercatat dalam sejarah. Ini adalah fakta bahwa dampak banjir lahar justru bisa lebih berbahaya daripada erupsi gunungapi itu sendiri. Contoh lain Gunungapi Pinatubo di Filipina, sejak meletus tahun 1991, banjir lahar telah menghancurkan rumah lebih dari 100.000 orang di lereng dan dataran kaki gunung tersebut.
Terkait dengan besarnya deposit lahar Merapi, maka untuk  menghabiskan material vulkanik hasil erupsi tampaknya butuh waktu tiga hingga empat periode musim hujan. Diperkirakan ancaman banjir lahar bisa berlangsung hingga beberapa tahun kedepan. Rusaknya jembatan Kali Krasak tahun 1974, justru diterjang oleh banjir lahar hasil erupsi Merapi tahun 1969.
Sebagai upaya mitigasi bencana banjir lahar Merapi tampaknya perlu dikembangkan sebuah sistem peringatan dini banjir lahar, berupa sistem monitor dan warning banjir lahar. Peralatan yang dinilai penting, selain sinyal transmisi dan kamera CCTV yang sudah terpasang di beberapa titik di Merapi adalah beroperasinya sistem pemantau curah hujan otomatis yang dipasang di puncak Merapi. Alat ini mampu memantau tingginya intensitas curah hujan secara telematri, realtime dan terintegrasi di pusat pemantauan. Instrumen peringatan dini lain yang perlu dipertimbangkan adalah sistem monitor aliran lahar yang dapat mendeteksi vibrasi tanah saat terjadi rayapan banjir lahar. Seluruh sistem ini memungkinkan memberi peringatan dini untuk menekan sekecil mungkin kerugian baik harta maupun jiwa penduduk di sekitar jalur sungai yang berhulu di puncak Merapi.

BANJIR LAHAR HUJAN : BUKAN BAHAYA SEKUNDER
Krisis Merapi belumlah usai. Ancaman banjir lahar hujan, yang berupa material utama lumpur, pasir, batu dan disertai material tambahan kayu, masih mempunyai potensi membahayakan kehidupan masyarakat yang lereng Merapi. Banyak pendapat yang menyatakan bahwa banjir lahar hujan disebut sebagai bahaya sekunder erupsi Merapi. Hal tersebut benar adanya jika dilihat dari perspektif erupsi Merapi, di mana banjir lahar hujan merupakan dampak lanjutan dari luncuran lahar dan awan panas. Seperti yang diberitakan di Harian Jogja tanggal 24 Desember 2010, bahwa ratusan warga di Dusun Guling, Dusun Gadingan dan Dusun Banaran diungsikan akibat banjir lahar “dingin” di aliran Kali Gendol yang meluap hingga pemukiman warga pada hari Kamis tanggal 23 Desember 2010.


Tim Pemantau Sungai – SEKBER PPA DIY kemudian melalukan survey lapangan pada tanggal 24 Desember 2010 dan 29 Desember 2010 dari Dusun Besalen hingga Dusun Banaran, dengan menghasilkan informasi sebagai berikut:
1. Lokasi Sabo-Dam Bronggang (Foto 7) dan sepanjang kerukan material (Foto 1) menjadi
byek wisata, yang cenderung berbahaya bagi keselamatan wisatawan.
2. Material hasil erupsi yang berada di kawasan pemukiman di Dusun Besalen ke bawah merupakan bidang luncur bagi material Kali Gendol yang ditumpuk oleh back hoe.
3. Merunut informasi dari masyarakat Kampung Banaranpecel, material sampai di dusun mereka (Foto 6) pada hari Kamis tanggal 23 Desember 2010 setelah terjadi hujan selama 2,5 jam (volume hujan tidak diketahui).
4. Material tersebut meluncur turun secara bertahap, yang didahului oleh lumpur dan peningkatan volume air run-off pada hari sebelumnya. Hal ini diketahui karena parit yang berada di pemukiman tidak mampu menampung air seperti sebelumnya.
5. Berdasar plotting peta, material mampu menempuh jarak sekitar 415,7 meter (jarak datar & lurus), dengan beda ketinggian sekitar 54 meter, sehingga didapatkan jarak dari titik Awal (Foto 1) hingga titik Akhir tanggal 29 Desember 2010 (Foto 6): sekitar 419,2 meter (jarak tersebut mengesampingkan pola aliran material yang berkelok)
6. Material tersebut membuat jalur baru dengan mengikuti jalan desa (Foto 2), melintasi jalan desa yang berpotongan dengan jalur baru tersebut (Foto 5-kanan), menggenangi persawahan (Foto 5-kiri) dan berhenti di areal persawahan Dusun Banaranpecel (Foto 6).
Berdasar hasil survey tersebut, Tim Pemantau Sungai – SEKBER PPA DIY memperkirakan hal-hal sebagai berikut :
1. Dikhawatirkan jatuhnya korban dari wisatawan selama belum adanya pengaturan keamanan (batas wilayah yang layak dan aman untuk dikunjungi), baik yang disebabkan terperosok ke dalam material maupun terjangan banjir lahar ketika terjadi hujan di kawasan puncak Merapi atau hulu Kali Gendol.
2. Selama kegiatan normalisasi material dengan back hoe masih berlangsung dan ditunjang dengan aktivitas hujan harian seperti sebelumnya, maka kemungkinan besar material akan mampu menempuh jarak yang lebih jauh dan menggenangi pemukiman di Dusun Banaran bagian selatan, Dusun Cawisan dan Dusun Wonokerso.
3. Material di Kali Gendol yang tidak dikeruk oleh back hoe tetap meluncur turun dengan mengikuti badan sungai.
Memperhatikan hasil dan perkiraan yang akan terjadi ke depan, maka diperlukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Penataan ulang pengelolaan wisata yang berada di seluruh kawasan Kali Gendol dengan memberi batasan wilayah yang layak dan aman untuk dikunjungi oleh wisatawan. Peranan pemerintah daerah akan lebih efektif untuk melakukan penataan ulang tersebut.
2. Penilaian ulang terhadap kegiatan normalisasi Kali Gendol, dengan memperhatikan dan memperhitungkan dampak yang merugikan bagi masyarakat. Meskipun kegiatan normalisasi sungai memang layak dilakukan dan sesuai dengan wewenang Badan Pengelola DAS dan Sabo, namun pengelolaan sungai sebagai sebuah ekosistem tidak
bisa dilepaskan dari lingkungan sekitarnya – termasuk masyarakat. Tentunya jauh lebih baik, jika penilaian ulang kegiatan normalisasi Kali gendol, pemerintah – baik pusat dan daerah untuk melibatkan peran masyarakat dan lembaga non-pemerintah.
3. Fasilitasi kegiatan swadaya masyarakat yang berada di sepanjang bantaran Kali Gendol untuk menyusun Sistem Evakuasi Mandiri, yang meliputi
a. Pembuatan jalur evakuasi bersama
b. Penyusunan Panitia Mandiri
c. Sosialisasi tentang potensi bahaya banjir lahar hujan – baik dalam bentuk sosialisasi maupun informasi tertulis (poster, leaflet, dan sebagainya)
d. Melengkapi peralatan standar untuk pemantauan yang dilakukan oleh masyarakat (sepatu boot, jas hujan, senter, sekop).
Dengan demikian, setidaknya menurut kami, banjir lahar hujan bukan lagi bahaya sekunder, namun merupakan bencana primer. Memperhatikan kejadian di bantaran sisi timur Kali Gendol dan perkembangan penanganan material erupsi Merapi, terdapat beberapa alasan untuk menyatakan banjir lahar hujan sebagai bencana primer. Pertama, material banjir lahar hujan sebagai penyebab utama kerugian bagi pemilik areal pemukiman dan persawahan (Foto 2, 3, 6, 9), mengganggu proses rehabilitasi masyarakat lereng Merapi karena akses jalan terganggu (Foto 4, 8, 10), dan sekaligus merupakan ancaman bagi kawasan dan penduduk yang rawan terjangan banjir lahar hujan (Foto 5). Kedua, material lahar yang menggenangi areal pemukiman dan persawahan bukan merupakan luapan material yang berada di Kali Gendol yang terkena hujan secara alami, namun material hasil normalisasi yang ditumpuk ole back hoe (Foto 1) dan terkena hujan.















You Might Also Like

0 komentar

Flickr Images